Suara Papua di Balikpapan

“Di Papua juga macet kok seperti di sini!”
Sebuah pertemuan singkat antara saya dan partner kp saya dengan rombongan dari papua di sebuah taksi-sebuah sebutan angkutan perkotaan (angkot)- yang berisikan 7 penumpang. Sore itu, jam setengah 6 waktu Indonesia Tengah, saya pulang dari kantor tempat saya kp. Melewati kawasan semacam hutan lindung. Bapak yang duduk di sebelah saya membuka pembicaraan mengenai kotamadya, kabupaten, membandingkan antara kota asalnya, Jayapura, dengan Balikpapan. Lalu iseng mengajukan pertanyaan basa basi karena penasaran, saya menanyakan “Bapak dari Jayapura?”
“Saya dari tanah di sana”, sambil menunjuk sablonan kaos anak kecil bertuliskan ‘PAPUA’. “Saya dengan 3 orang ini datang untuk menemani ini-anak kecil berkaos tadi- ikut olimpiade nasional.”
“Wah hebat. Di Papua masih banyak pohon seperti di sini pak?”, taksi kita sedang melewati kawasan pepohonan dekat komplek Pertamina
“Wah, tidak lagi! Di Papua sekarang juga seperti di kota Balikpapan, macet dimana-mana. Sudah banyak mobil.”
“Kita di Jayapura juga kota tidak seperti di tv-tv yang menanyangkan kita hidup di hutan. Kita juga pakai baju, tidak semua pakai koteka. Yang seperti itu hanya beberapa, itu juga di pedalaman.”
“Di Jayapura sama sama aja, banyak mobil. Makanan juga sama saja, ada nasi dan ayam. Harganya juga sama saja, di seluruh Indonesia harga beras kan sama. Nasi ayam Cuma 12.000. Sama kan ‘to dengan sini? Di Jayapura tapi banyak sekali jenis umbi-umbian, karena makanan pokok kita itu. Papeda itu enak sekali, terbuat dari sagu lengket-lengket dimakan dengan kuah ikan. Mirip dengan kanji tapi berbeda. Di Jayapura hanya sayur dan barang elektronik saja yang mahal sedikit.”
“Di Jayapura juga sudah banyak pendatang. Saya Asli Papua, teman saya itu orang Bugis, tapi sudah hidup, tinggal, dan menjadi orang Papua.”
Bapak Bugis, “Di Jayapura itu damai, tidak pernah ribut. Tidak seperti di tv-tv yang menayangkan yang ribut-ributnya saja. Islam, Kristiani, hidup bersama. Kalau sedang lebaran itu orang Islam sholat kita yang jagain, kalau orang Kristiani sedang beribadah juga orang Islam panitianya. Kalau sudah seperti di tv-tv mungkin saya sudah tidak ada lagi di sini. Bohong itu semua.”
“Di sana dapat uang mudah dek. Karena persaingannya tidak terlalu banyak. Biaya kuliah juga paling murah se Indonesia. Saya ini dosen dek, kuliah di Jayapura hanya 160.000 persemester. Adik kalau cowok sudah saya ajak ke Jayapura.”

Begitu lah sehangatan dan keramahan orang Jayapura yang saya rasakan. Bahkan beliau-beliau yang turun taksi duluan membayarkan ongkos saya dan teman saya. Sungguh indah rasanya. Ingin sekali saya jelajahi negeri ini hingga kepelosok. Membuktikan dan meyakinkan diri saya bahwa Indonesia benar seindah itu, seramah itu, sedamai itu dalam keberagaman.

Balikpapan, 08 Juli 2013


Popular posts from this blog

Tanjung Lesung

Seni